Juventus Football Club S.p.A. (dari bahasa Latin:[5] iuventus: masa muda, diucapkan [juˈvɛntus]), biasa disebut sebagai Juventus dan popular dengan nama Juve, merupakan sebuah klub sepak bola profesional asal Italia yang berbasis di kota Turin, Piedmont, Italia. Klub ini didirikan pada 1897 dan telah mengarungi beragam sejarah manis, dengan pengecualian kejadian musim 2006-2007, di Liga Italia Seri-A. Klub ini sendiri merupakan salah satu anak perusahaan dari FIAT Group, yang saat ini dimiliki oleh keluarga Agnelli, dan membawahi perusahaan-perusahaan lain seperti Fiat Automobile, tim F1 Scuderia Ferrari, Ferrari Corse, dan Maserati Automobile.
Juventus merupakan klub tersukses dalam sejarah Liga Italia Seri-A dengan raihan 28 gelar juara (Scudetto),[6] dan juga tercatat sebagai salah satu klub tersukses di dunia.[6] Merujuk pada Federasi Sejarah & Statistik Sepak Bola Internasional, sebuah organisasi internasional yang berafiliasi pada FIFA, Juventus menjadi klub terbaik Italia pada abad 20, dan menjadi klub terbaik Italia kedua di Eropa dalam waktu yang sama.[7]
Secara keseluruhan, klub ini telah memenangi 52 kejuaraan resmi.[8] Dengan rincian 41 di Italia, dan 11 di zona UEFA dan dunia.[9][10] Sekaligus menjadikannya sebagai klub tersukses keempat di Eropa, dan ketujuh di dunia, dengan gelar-gelar dunia yang diakui oleh enam organisasi konfederasi sepak bola, dan tentunya FIFA.[11]
Klub ini menjadi klub pertama Italia dan Eropa Selatan yang berhasil memenangi gelar Piala UEFA (sekarang namanya menjadi Liga Europa).[12] Pada 1985, Juventus menjadi satu-satunya klub di dunia yang berhasil memenangi seluruh kejuaraan piala internasional dan kejuaraan liga nasional,[13] dan menjadi klub Eropa pertama yang mampu menguasai semua kejuaraan UEFA dalam satu musim.[14][15][16]
Juventus juga menjadi salah satu klub sepak bola Italia dengan jumlah fans terbesar[17], dan diperkirakan ada 170 juta orang didunia yang juga menjadi fans Juve.[18] Klub ini menjadi salah satu pencipta ide European Club Association, yang dulu dikenal dengan nama G-14, yang berisikan klub-klub kaya Eropa. Klub ini juga menjadi penyumbang terbanyak pemain untuk tim nasional Italia.
Sejak 2006 klub ini bermarkas di Stadio Olimpico di Torino yang menggantikan markas sebelumnya yaitu Stadion Delle Alpi yang dirobohkan dan dibangun ulang sebagai stadion baru bernama Juventus Arena. Juventus resmi memakai stadion baru mereka tesebut pada awal September 2011
Pada 1906, beberapa pemain Juve secara mendadak menginginkan agar Juve keluar dari Turin.[3] Presiden Juve saat itu, Alfredo Dick kesal dan ia memutuskan hengkang untuk kemudian membentuk tim tandingan bernama FBC Torino yang kemudian menjadikan Juve vs. Torino sebagai Derby della Mole.[22] Juventus sendiri ternyata tetap eksis walaupun ada perpecahan, bahkan bisa bertahan seusai Perang Dunia I.[21]
Juventus kemudian pindah kandang ke Stadio Comunale, tetapi di akhir 1930-an dan di awal 1940-an mereka gagal merajai Italia. Bahkan mereka harus mengakui tim sekota mereka, A.C. Torino. Secercah prestasi kemudian muncul di musim 1937-38 saat Juve menjuarai Piala Italia pertama mereka setelah di final mengalahkan klub sekota mereka, Torino.
Setelah berada di posisi 6 pada musim 1940-41, Juve lantas merebut Piala Italia kedua mereka di musim berikutnya. Di periode ini, Italia ikut Perang Dunia II dan ini membuat jalannya Liga menjadi terhambat. Sepakbola Italia kemudian memutuskan untuk terus berlangsung saat masa perang berjalan. Pada 1944, Juve ikut serta dalam sebuah turnamen lokal, yang akhirnya urung diselesaikan. Pada 14 Oktober, Liga kembali bergulir dan ditandai dengan derby Torino vs. Juventus. Torino yang saat itu mendapat sebutan "Grande Torino" kalah 2-1 dari Juventus. Namun di akhir musim justru Torino berhasil juara. Pada jeda musim panas, sebuah peristiwa penting terjadi di Juve pada 22 Juli 1945, Gianni Agnelli mengambil alih posisi presiden klub, meneruskan tradisi keluarga Agnelli. Dalam kepempinannya, Agnelli mendatangkan Giampiero Boniperti dalam jajaran staffnya. Ditambah amunisi baru seperti Muccinelli dan striker asal Denmark John Hansen. Setelah Perang Dunia II usai Juve berhasil menambah dua gelar Seri-A pada 1949–50 dan 1951–52, dibawah kepelatihan orang Inggris, Jesse Carver.
Gianni Agnelli lantas meninggalkan klub pada 18 September 1954. Tahun ini periode gelap Juve dimulai dengan hanya mampu finish di posisi 7. Musim berikutnya, di bawah arahan manajer Puppo yang mengandalkan skuat muda Juve mulai mencoba bangkit. Setelah serangkaian kekalahan karena skuat yang belum matang, pada November 1956 kabar baik berembus dengan masuknya Umberto Agnelli sebagai komisioner klub. skuat menjadi kuat dengan kedatangan beberapa pemain hebat seperti Omar Sivori dan pemuda Wales bernama John Charles yang menemani para punggawa lama seperti Giampiero Boniperti. Musim 1957-58, Juve kembali berjaya di Seri-A, dan menjadi klub Italia pertama yang mendapatkan bintang kehormatan karena telah memenangi 10 gelar Liga Seri-A. Di musim yang sama, Omar Sivori terpilih menjadi pemain Juventus pertama yang memenangi gelar Pemain Terbaik Eropa. Juve juga berhasil memenangi Coppa Italia setelah mengalahkan ACF Fiorentina di final. Boniperti pensiun di 1961 sebagai top skorer terbaik Juventus sepanjang masa dengan 182 gol di semua kompetisi yang ia ikuti bersama Juventus.
Di era 1960-an, Juve hanya sekali memenangi Seri-A yaitu di musim 1966–67. Tetapi pada era 1970-an, Juve kembali menemukan jatidirinya sebagai klub terbaik Italia. Di bawah arahan Čestmír Vycpálek, Juve berusaha bangkit di musim 1971-72. Di paruh pertama musim, Juve belum stabil dalam permainan dan di paruh kedua mereka berhasil kembali ke performa terbaik terutama saat mencapai final Fairs Cup (cikal bakal Piala UEFA) namun kalah dari Leeds United. Di pekan ke-4 liga, Juve kemudian berhasil mengalahkan AC Milan 4-1 di San Siro ditandai permainan apik Bettega dan Causio. Namun beberapa saat kemudian, Bettega harus istirahat karena sakit dan posisi pertama klasemen milik Juve menjadi terancam. Untungnya mereka berhasil konsisten dan merebut scudetto ke-14 mereka. Selanjutnya di musim 1972-73 Juve kedatangan Dino Zoff dan Jose Altafini dari Napoli. Di musim ini, Juve dihadapkan pada jadwal di Seri-A dan kompetisi Eropa. Setelah berjuang sampai menit akhir, Juve berhasil menyalip AC Milan, yang secara mengejutkan kalah dipertandingan terakhir mereka, dan merebut scudetto ke-15. Juve juga bahkan berhasil masuk final Piala Champions musim tersebut, namun di mereka kalah dari Ajax Amsterdam yang dimotori oleh Johan Crujff. Selanjutnya mereka berhasil menambah tiga gelar lagi bersama defender Gaetano Scirea di musim 1974-75, 1976–77 dan 1977–78. Dan dengan masuknya pelatih hebat bernama Giovanni Trapattoni, Juve berhasil memperpanjang dominasi mereka di era 1980-an.
Musim panas 1983, Juve kehilangan dua pilar inti mereka. Dino Zoff gantung sepatu di usia 41 tahun sedangkan Bettega beralih ke Kanada untuk mengakhiri karirnya di sana. Juve lantas merekrut kiper baru dari Avellino: Stefano Tacconi dan Beniamino Vinola dari klub yang sama. Sementara Nico Penzo menjadi pendampong Rossi di lini depan. Juve pada saat itu berkonsentrasi penuh di dua kompetisi, Liga dan Piala Winner. Hasilnya, melalui penampilan yang konsisten sepanjang musim, Juve merengkuh gelar liga satu minggu sebelum kompetisi usai. Dan gelar ini ditambah gelar lainnya di Piala Winner saat mereka mengalahkan Porto 2-1 di Basel pada 16 Mei 1984. Dua gelar ini sangat bersejarah dan merupakan prestasi bagi kapten klub Scirea dan kawan-kawan.
Setelah era keemasan Rossi usai, Michel Platini kemudian secara mengejutkan berhasil menjadi pemain terbaik Eropa tiga kali berturut-turut; 1983, 1984 dan 1985, dimana sampai saat ini belum ada pemain yang bisa menyamai dirinya. Juventus menjadi satu-satunya klub yang mampu mengantarkan pemainnya menjadi pemain terbaik Eropa sebanyak empat tahun berurutan.[24] Platini juga menjadi bintang saat Juve berhasil menjadi juara Liga Champions Eropa pada 1985 dengan sumbangan satu gol semata wayangnya. Tragisnya, final melawan Liverpool FC dari Inggris tersebut yang berlangsung di Stadion Heysel Belgia, harus dibayar mahal dengan kematian 39 tifoso Juventus akibat terlibat kerusuhan dengan para hooligans dari Liverpool. Sebagai hukuman, tim-tim Inggris dilarang mengikuti semua kejuaraan Eropa selama lima tahun.[25] Juventus kemudian merebut scudetto terakhir mereka di era 1980-an pada musim 1985-86, yang juga menjadi tahun terakhir Trappatoni di Juventus. Memasuki akhir 1980-an, Juve gagal menunjukkan performa terbaiknya, mereka harus mengakui keunggulan Napoli dengan bintang Diego Maradona, dan kebangkitan dua tim kota Milan, AC Milan dan Inter Milan.[21] Pada 1990, Juve pindah kandang ke Stadio delle Alpi, yang dibangun untuk persiapan Piala Dunia 1990.[26]
Sesaat setelah bangkit kembali, para pemain Juventus yang biasa-biasa saja saat itu secara mengagumkan bisa mengembangkan diri mereka menjadi pemain-pemain bintang. Mereka adalah Zinedine Zidane, Filippo Inzaghi dan Edgar Davids. Juve kembali memenangi Seri-A musim 1996–97 dan 1997–98, termasuk juga Piala Super Eropa 1996[28] dan Piala Interkontinental 1996.[29] Juventus juga mencapai final Liga Champions di musim 1997 dan 1998, tetapi mereka kalah oleh Borussia Dortmund (Jerman) dan Real Madrid (Spanyol).[30][31]
Setelah dua musim absen karena dikontrak oleh Inter Milan (dan gagal), Marcello Lippi kembali ke Juventus di awal 2001. Pria penyuka cerutu ini lantas membawa beberapa pemain biasa, yang kembali ia berhasil sulap menjadi pemain hebat, di antaranya Gianluigi Buffon, David Trézéguet, Pavel Nedvěd dan Lilian Thuram, dimana para pemain tersebut membantu Juve kembali memenangi dua gelar Seri-A di musim 2001-02 dan 2002-03. Juve juga berhasil maju kembali ke final Liga Champions, sayangnya mereka kalah oleh sesama tim Italia lain, AC Milan. Tahun berikutnya, Lippi diangkat menjadi manajer timnas Italia setelah bersaing ketat dengan Fabio Capello, dan mengakhiri eranya sebagai pelatih terbaik Juventus di era 1990-an dan awal 2000-an.[32]
Dibawah manajer muda Perancis, Didier Deschamps dan para pemain setia seperti Gianluigi Buffon dan Pavel Nedved, Juve menjadi tim super di Seri-B dan dengan hasil sebagai juara seri-B untuk pertama kalinya, Juve kembali ke Seri-A pada musim 2007-08. Claudio Ranieri[34] diangkat menjadi pelatih Juve setelah Deschamps berseteru soal bayaran gaji. Sayangnya usia Ranieri juga tidak berlangsung lama setelah ia gagal membawa Juve juara di musim 2008-09.[35] Mantan pemain Juve lain, Ciro Ferrara mulai bertugas menangani Juve di dua pertandingan akhir musim 2008-09 dan melanjutkan posisinya untuk musim 2009-10.[36] Namun Ferrara pun tidak bisa bertahan lama, karena di bulan Januari 2010 ia gagal membawa Juve berprestasi lebih baik setelah kandas di babak penyisihan grup Liga Champions. Ia pun akhirnya digantikan oleh Alberto Zaccheroni. Zaccheroni menangangi Juventus sampai akhir musim 2009-10 dan kemudian ia digantikan oleh Luigi Del Neri untuk musim 2010-11. Namun setelah serentetan hasil buruk di paruh musim kedua, manajemen Juventus akhirnya memutuskan untuk memecat Del Neri tidak lama setelah musim berakhir, dan ia digantikan oleh mantan bintang Juventus di era 1990-an, Antonio Conte untuk musim 2011-12.
Juventus lantas menanyakan pada pemain yang memakai baju belang tersebut, yaitu orang Inggris bernama John Savage, apakah ia bisa mengontak teman-temannya di Inggris yang bisa menyuplai kostum Juve dengan warna tersebut. Ia lantas menghubungi temannya yang tinggal di Nottingham, yang menjadi supporter Notts County, untuk mengirim kostum belang hitam-putih ke Turin, dan temannya tersebut menyanggupinya.[39]
Logo resmi Juventus Football Club telah mengalami berbagai perubahan dan modifikasi sejak tahun 1920. Modifikasi terakhir adalah pada musim 2004-05. Dimana saat itu mereka mengubah logo menjadi oval, dengan lima garis vertical, dan banteng yang dibentuk dalam sebuah siluet. Dahulu sebelum musim 2004-05, Juve memiliki sebuah symbol berwarna biru (yang merupakan symbol lain dari kota Turin). Selain itu ditambahkan juga dua bintang yang menggambarkan mereka sebagai satu-satunya klub yang mampu memenagi gelar Seri-A 20 kali. Sementara di era 1980-an, logo Juve lebih banyak dihiasi dengan siluet seekor zebra, menggambarkan mereka sebagai tim zebra kuat di Seri-A.
Dalam perjalanan sejarahnya, Juve telah memiliki beberapa nama julukan, la Vecchia Signora[1] (the Old Lady dalam bahasa Inggris atau "si Nyonya Tua" dalam bahasa Indonesia) merupakan salah satu contoh. Kata "old" (tua) merupakan bagian dari nama Juventus, yang berarti "youth" (muda) dalam Latin.[5] Nama ini diambil dari usia para pemain Juventus yang muda-muda di era 1930-an. Nama "lady" (nyonya) merupakan bagian dari sebutan para tifoso ketika memanggil Juve sebelum era 1930-an. Klub ini juga mendapat julukan la Fidanzata d'Italia (the Girlfriend of Italy dalam bahasa Inggris atau "Pacar Italia" dalam bahasa Indonesia), karena selama beberapa tahun, Juve selalu memasok pemain baru dari daerah selatan Itala seperti dari Naples atau Palermo, dimana selain bermain sebagai pemain sepak bola, mereka juga bekerja untuk FIAT sejak awal 1930-an. Nama lain Juve adalah: I Bianconeri (the black-and-whites, atau Si Belang) dan Le Zebre (the zebras[40], atau Si Zebra) yang merujuk pada warna kostum Juventus.
Dari 1909 sampai 1922, Juve bermain di Corso Sebastopoli Camp, dan selanjutnya mereka pindah ke Corso Marsiglia Camp dimana mereka bertahan sampai 1933, dan memenangi empat gelar liga. Di akhir 1933 mereka bermain di Stadion Mussolini yang disiapkan untuk Piala Dunia 1934. Setelah PDII, stadion tersebut berganti nama menjadi Stadion Comunale Vittorio Pozzo. Juventus memainkan pertandingan kandangnya di sana selama 57 tahun dengan total pertandingan sebanyak 890 kali.[41] Sampai akhir Juli 2003 tempat tersebut masih dipakai sebagai sempat latihan Juve yang resmi.[42]
Dari tahun 1990 sampai akhir musim 2005-06, Juve menggunakan Stadion Delle Alpi, sebagai kandang mereka yang aslinya dibangun untuk Piala Dunia 1990, sesekali Juve juga menggunakan stadion lain seperti Renzo Barbera di Palermo, Dino Manuzzi di Cesena dan San Siro di Milan.[42]
Agustus 2006 Juve kembali bermain di Stadion Comunale, yang sekarang dikenal dengan nama Stadion Olimpiade, setelah Stadion Delle Alpi dipakai dan kemudian direnovasi untuk Olimpiade Musim Dingin Turin 2006.
Pada November 2008 Juventus mengumumkan bahwa mereka akan menginvestasikan dana sebesar €100 juta untuk membangun stadion baru di bekas lahan Stadion Delle Alpi. Berbeda dengan Delle Alpi, stadion baru Juve ini tidak menyertakan lintasan lari, dan jarak antara penonton dengan lapangan hanya 8,5 meter saja, mirip dengan mayoritas stadion di Inggris, dimana kapasitasnya diperkirakan akan berisi 41.000 kursi. Pekerjaan ini dimulai pada musim semi 2009, dan mulai awal musim 2011-12 stadion tersebut kemudian dipakai untuk mengarungi musim dan sejarah baru Juventus.
Tiket-tiket pertandingan kandang Juve memang tidak selalu habis setiap kali Juve bertanding di Seri-A atau Eropa, kebanyakkan fans Juve di Turin mendukung tim kesayangan mereka lewat bar-bar atau restoran. Di luar Italia, kekuatan supporter Juventus sangatlah kuat. Juve juga sangat popular di Italia Utara dan Pulau Sisilia, dan menjadi kekuatan besar saat Juve bertanding tandang,[45] lebih dibandingkan para pendukung di Turin sendiri.
Untuk kawasan Indonesia sendiri sejak awal musim 2006-07 sudah berdiri sebuah komunitas khusus bagi para penggemar Juventus, dengan nama Juventus Club Indonesia (JCI). Komunitas ini kemudian diakui sebagai satu-satunya fans club resmi Juventus untuk Indonesia pada awal musim 2008-09 setelah hampir tiga tahun berjuang untuk mendapatkan lisensi dari pihak Juventus Italia.[46][47]
Sementara untuk kawasan Eropa sendiri, rival utama Juventus adalah Manchester United FC dari Inggris dan FC Bayern Munich dari Jerman, dimana keduanya sangat sering sekali bertemu di ajang Liga Champions Eropa. Satu lagi rival utama Juventus di Eropa adalah Liverpool FC. Khusus Liverpool, tifosi Juve tidak akan pernah melupakan tragedi kerusuhan Heysel 1985 (final Liga Champions 1985), dimana sekitar 30 orang lebih pendukung Juventus tewas di stadion yang berada di Belgia tersebut.
Catatan: Perjanjian peminjaman berakhir pada 30 Juni 2013
Hingga 27 Juli 2011.[56]
Juventus telah memenangi 28 gelar Seri-A, dan menjadi rekor terbanyak sampai saat ini,[32] dan juga menjadi catatan tersendiri saat Juve mendominasi lima musim berturut-turut Seri-A dari musim 1930-31 sampai 1934-35.[32] Mereka juga telah memenangi Piala Italia Sembilan kali, dan menjadi rekor sampai saat ini.[60]
Juventus menjadi satu-satunya klub sepak bola Italia yang telah mendapatkan dua bintang sebagai tanda mereka telah menjuarai Seri-A lebih dari 20 kali. Bintang pertama mereka dapatkan pada musim 1957-58 ketika Juve berhasil menjuarai Seri-A untuk kesepuluh kalinya, dan yang kedua pada 1981-82 ketika Juve menjuarai Seri-A untuk keduapuluh kalinya. Juventus juga merupakan klub Italia pertama yang memenangi gelar dobel (Seri-A dan Coppa Italia) sebanyak dua kali, yaitu pada 1959-60 dan 1994-95.
Juventus tercatatkan juga sebagai klub pertama dan satu-satunya di dunia yang berhasil memenangi seluruh gelar kejuaraan resmi,[13] yang diakui oleh FIFA,[15][16][14][61] Juve memenangi Piala UEFA tiga kali, berbagi rekor bersama Liverpool dan Inter Milan.[62]
Klub Turin ini menempati posisi 7 —tetapi teratas untuk klub Italia—dalam daftar Klub Terbaik FIFA Abad 20 yang diumumkan pada 23 Desember 2000.[63]
Juventus juga mendapatkan status sebagai World's Club Team of the Year sebanyak dua kali tepatnya pada 1993 dan 1996[64], dan menempati rangking 3 dalam Rangking Klub Sepanjang masa (1991-2008) oleh International Federation of Football History & Statistics.[65]
Juventus merupakan klub tersukses dalam sejarah Liga Italia Seri-A dengan raihan 28 gelar juara (Scudetto),[6] dan juga tercatat sebagai salah satu klub tersukses di dunia.[6] Merujuk pada Federasi Sejarah & Statistik Sepak Bola Internasional, sebuah organisasi internasional yang berafiliasi pada FIFA, Juventus menjadi klub terbaik Italia pada abad 20, dan menjadi klub terbaik Italia kedua di Eropa dalam waktu yang sama.[7]
Secara keseluruhan, klub ini telah memenangi 52 kejuaraan resmi.[8] Dengan rincian 41 di Italia, dan 11 di zona UEFA dan dunia.[9][10] Sekaligus menjadikannya sebagai klub tersukses keempat di Eropa, dan ketujuh di dunia, dengan gelar-gelar dunia yang diakui oleh enam organisasi konfederasi sepak bola, dan tentunya FIFA.[11]
Klub ini menjadi klub pertama Italia dan Eropa Selatan yang berhasil memenangi gelar Piala UEFA (sekarang namanya menjadi Liga Europa).[12] Pada 1985, Juventus menjadi satu-satunya klub di dunia yang berhasil memenangi seluruh kejuaraan piala internasional dan kejuaraan liga nasional,[13] dan menjadi klub Eropa pertama yang mampu menguasai semua kejuaraan UEFA dalam satu musim.[14][15][16]
Juventus juga menjadi salah satu klub sepak bola Italia dengan jumlah fans terbesar[17], dan diperkirakan ada 170 juta orang didunia yang juga menjadi fans Juve.[18] Klub ini menjadi salah satu pencipta ide European Club Association, yang dulu dikenal dengan nama G-14, yang berisikan klub-klub kaya Eropa. Klub ini juga menjadi penyumbang terbanyak pemain untuk tim nasional Italia.
Sejak 2006 klub ini bermarkas di Stadio Olimpico di Torino yang menggantikan markas sebelumnya yaitu Stadion Delle Alpi yang dirobohkan dan dibangun ulang sebagai stadion baru bernama Juventus Arena. Juventus resmi memakai stadion baru mereka tesebut pada awal September 2011
Sejarah
1887–1922: Awal mula
Juventus didirikan dengan nama Sport Club Juventus pada pertengahan tahun 1897 oleh siswa-siswa dari sekolah Massimo D'Azeglio Lyceum di daerah Liceo D’Azeglio, Turin[20]. Awal mula dibentuknya klub ini adalah sebagai pelampiasan dari anak-anak yang saling berteman dan menghabiskan waktu untuk jalan-jalan bersama dan bersenang-senang serta melakukan berbagai hal positif. Usia anak-anak tersebut rata-rata 15 tahunan, yang tertua berumur 17 dan lainnya di bawah 15 tahun. Setelah itu, hal yang mungkin tidak jadi masalah sekarang ini tapi merupakan hal yang terberat bagi pemuda-pemuda tersebut saat itu adalah mencari markas baru. Salah satu pendiri Juventus, Enrico Canfari dan teman-temannya kemudian memutuskan untuk mencari sebuah lokasi dan akhirnya mereka menemukan salah satu tempat yaitu sebuah bangunan yang memiliki halaman yang dikelilingi tembok, mempunyai 4 ruangan, sebuah kanopi dan juga loteng dan keran air minum. Selanjutnya, Canfari menceritakan tentang bagaimana terpilihnya nama klub, segera setelah mereka menemukan markas baru. Akhirnya, tibalah pertemuan untuk menentukan nama klub dimana terjadi perdebatan sengit di antara mereka. Di satu sisi, pembenci nama latin, di sisi lain penyuka nama klasik dan sisanya netral. Lalu, diputuskanlah tiga nama untuk dipilih; "Societa Via Port", "Societa sportive Massimo D’Azeglio", dan "Sport Club Juventus". Nama terakhir belakangan dipilih tanpa banyak keberatan dan akhirnya resmilah nama klub mereka menjadi "Sport Club Juventus", tetapi kemudian berubah nama menjadi Foot-Ball Club Juventus dua tahun kemudian.[3] Klub ini lantas bergabung dengan Kejuaraan Sepak Bola Italia pada tahun 1900. Dalam periode itu, tim ini menggunakan pakaian warna pink dan celana hitam. Juve memenangi gelar Seri-A perdananya pada 1905, ketika mereka bermain di Stadio Motovelodromo Umberto I. Di sana klub ini berubah warna pakaian menjadi hitam putih, terinspirasi dari klub Inggris Notts County.[21]Pada 1906, beberapa pemain Juve secara mendadak menginginkan agar Juve keluar dari Turin.[3] Presiden Juve saat itu, Alfredo Dick kesal dan ia memutuskan hengkang untuk kemudian membentuk tim tandingan bernama FBC Torino yang kemudian menjadikan Juve vs. Torino sebagai Derby della Mole.[22] Juventus sendiri ternyata tetap eksis walaupun ada perpecahan, bahkan bisa bertahan seusai Perang Dunia I.[21]
923–1980: Masuknya Keluarga Agnelli dan merajai Italia
Pemilik FIAT, Edoardo Agnelli mengambil alih kendali Juventus pada 1923, dimana kemudian ia membangun stadion baru.[3] Hal ini memberikan semangat baru untuk Juventus, dimana pada musim 1925-26, mereka berhasil menjadi scudetto dengan mengalahkan Alba Roma dengan agregat 12-1. Pada era 1930-an, klub ini menjadi klub super di Italia dengan memenangi gelar lima kali berturut-turut dari 1930 sampai 1935, dibawah asuhan pelatih Carlo Carcano[21], dan beberapa pemain bintang seperti Raimundo Orsi, Luigi Bertolini, Giovanni Ferrari dan Luis Monti.Juventus kemudian pindah kandang ke Stadio Comunale, tetapi di akhir 1930-an dan di awal 1940-an mereka gagal merajai Italia. Bahkan mereka harus mengakui tim sekota mereka, A.C. Torino. Secercah prestasi kemudian muncul di musim 1937-38 saat Juve menjuarai Piala Italia pertama mereka setelah di final mengalahkan klub sekota mereka, Torino.
Setelah berada di posisi 6 pada musim 1940-41, Juve lantas merebut Piala Italia kedua mereka di musim berikutnya. Di periode ini, Italia ikut Perang Dunia II dan ini membuat jalannya Liga menjadi terhambat. Sepakbola Italia kemudian memutuskan untuk terus berlangsung saat masa perang berjalan. Pada 1944, Juve ikut serta dalam sebuah turnamen lokal, yang akhirnya urung diselesaikan. Pada 14 Oktober, Liga kembali bergulir dan ditandai dengan derby Torino vs. Juventus. Torino yang saat itu mendapat sebutan "Grande Torino" kalah 2-1 dari Juventus. Namun di akhir musim justru Torino berhasil juara. Pada jeda musim panas, sebuah peristiwa penting terjadi di Juve pada 22 Juli 1945, Gianni Agnelli mengambil alih posisi presiden klub, meneruskan tradisi keluarga Agnelli. Dalam kepempinannya, Agnelli mendatangkan Giampiero Boniperti dalam jajaran staffnya. Ditambah amunisi baru seperti Muccinelli dan striker asal Denmark John Hansen. Setelah Perang Dunia II usai Juve berhasil menambah dua gelar Seri-A pada 1949–50 dan 1951–52, dibawah kepelatihan orang Inggris, Jesse Carver.
Gianni Agnelli lantas meninggalkan klub pada 18 September 1954. Tahun ini periode gelap Juve dimulai dengan hanya mampu finish di posisi 7. Musim berikutnya, di bawah arahan manajer Puppo yang mengandalkan skuat muda Juve mulai mencoba bangkit. Setelah serangkaian kekalahan karena skuat yang belum matang, pada November 1956 kabar baik berembus dengan masuknya Umberto Agnelli sebagai komisioner klub. skuat menjadi kuat dengan kedatangan beberapa pemain hebat seperti Omar Sivori dan pemuda Wales bernama John Charles yang menemani para punggawa lama seperti Giampiero Boniperti. Musim 1957-58, Juve kembali berjaya di Seri-A, dan menjadi klub Italia pertama yang mendapatkan bintang kehormatan karena telah memenangi 10 gelar Liga Seri-A. Di musim yang sama, Omar Sivori terpilih menjadi pemain Juventus pertama yang memenangi gelar Pemain Terbaik Eropa. Juve juga berhasil memenangi Coppa Italia setelah mengalahkan ACF Fiorentina di final. Boniperti pensiun di 1961 sebagai top skorer terbaik Juventus sepanjang masa dengan 182 gol di semua kompetisi yang ia ikuti bersama Juventus.
Di era 1960-an, Juve hanya sekali memenangi Seri-A yaitu di musim 1966–67. Tetapi pada era 1970-an, Juve kembali menemukan jatidirinya sebagai klub terbaik Italia. Di bawah arahan Čestmír Vycpálek, Juve berusaha bangkit di musim 1971-72. Di paruh pertama musim, Juve belum stabil dalam permainan dan di paruh kedua mereka berhasil kembali ke performa terbaik terutama saat mencapai final Fairs Cup (cikal bakal Piala UEFA) namun kalah dari Leeds United. Di pekan ke-4 liga, Juve kemudian berhasil mengalahkan AC Milan 4-1 di San Siro ditandai permainan apik Bettega dan Causio. Namun beberapa saat kemudian, Bettega harus istirahat karena sakit dan posisi pertama klasemen milik Juve menjadi terancam. Untungnya mereka berhasil konsisten dan merebut scudetto ke-14 mereka. Selanjutnya di musim 1972-73 Juve kedatangan Dino Zoff dan Jose Altafini dari Napoli. Di musim ini, Juve dihadapkan pada jadwal di Seri-A dan kompetisi Eropa. Setelah berjuang sampai menit akhir, Juve berhasil menyalip AC Milan, yang secara mengejutkan kalah dipertandingan terakhir mereka, dan merebut scudetto ke-15. Juve juga bahkan berhasil masuk final Piala Champions musim tersebut, namun di mereka kalah dari Ajax Amsterdam yang dimotori oleh Johan Crujff. Selanjutnya mereka berhasil menambah tiga gelar lagi bersama defender Gaetano Scirea di musim 1974-75, 1976–77 dan 1977–78. Dan dengan masuknya pelatih hebat bernama Giovanni Trapattoni, Juve berhasil memperpanjang dominasi mereka di era 1980-an.
1981–1993: Scudetto ke-20 dan merajai Eropa
Era tangan dingin Trapattoni benar-benar membuat Seri-A porak poranda di 1980-an.[21] Juve sangat perkasa di era tersebut, dengan gelar Seri-A empat kali di era tersebut. Setelah 6 pemainnya ikut andil dalam timnas Italia yang menjuarai Piala Dunia 1982 dengan Paolo Rossi sebagai salah satu pemain Juve kemudian terpilih menjadi Pemain Terbaik Eropa pada 1982, sesaat setelah berlangsungnya Piala Dunia pada tahun tersebut.[23] ditambah dengan kedatangan bintang Prancis Michel Platini, Juventus kembali difavoritkan di musim 1982-83. Namun Juventus yang juga disibukkan dengan jadwal kejuaraan Eropa memulai kompetisi dengan lambat. Hal itu ditunjukkan dengan menelan kekalahan dari Sampdoria di pertandingan pembuka musim serta menang dengan tidak meyakinkan atas Fiorentina dan Torino. Sementara di Eropa, mereka berhasil menyingkirkan Hvidovre (Denmark) dan Standard Liege (Belgia) di penyisihan. Akan tetapi, Juventus kembali ke trek juara di musim dingin bersamaan keberhasilan mereka menembus perempat final Liga Champions. Selanjutnya, kemenangan atas Roma melalui 2 gol dari Platini dan Brio membuat jarak keduanya berselisih 3 poin dengan Roma di posisi puncak. Namun, karena konsentrasi Juve terpecah antara Serie A dan Liga Champions akhirnya tidak berhasil mengejar AS Roma yang menjadi juara. Juventus seharusnya bisa menumpahkan kekecewaannya di Liga saat mereka bertemu Hamburg di final Liga Champions tapi hal itu tidak terjadi. Berada di posisi kedua di kompetisi domestic dan Eropa, Juventus akhirnya berhasil merebut gelar penghibur saat menjuarai Piala Italia dan Piala Interkontinental.Musim panas 1983, Juve kehilangan dua pilar inti mereka. Dino Zoff gantung sepatu di usia 41 tahun sedangkan Bettega beralih ke Kanada untuk mengakhiri karirnya di sana. Juve lantas merekrut kiper baru dari Avellino: Stefano Tacconi dan Beniamino Vinola dari klub yang sama. Sementara Nico Penzo menjadi pendampong Rossi di lini depan. Juve pada saat itu berkonsentrasi penuh di dua kompetisi, Liga dan Piala Winner. Hasilnya, melalui penampilan yang konsisten sepanjang musim, Juve merengkuh gelar liga satu minggu sebelum kompetisi usai. Dan gelar ini ditambah gelar lainnya di Piala Winner saat mereka mengalahkan Porto 2-1 di Basel pada 16 Mei 1984. Dua gelar ini sangat bersejarah dan merupakan prestasi bagi kapten klub Scirea dan kawan-kawan.
Setelah era keemasan Rossi usai, Michel Platini kemudian secara mengejutkan berhasil menjadi pemain terbaik Eropa tiga kali berturut-turut; 1983, 1984 dan 1985, dimana sampai saat ini belum ada pemain yang bisa menyamai dirinya. Juventus menjadi satu-satunya klub yang mampu mengantarkan pemainnya menjadi pemain terbaik Eropa sebanyak empat tahun berurutan.[24] Platini juga menjadi bintang saat Juve berhasil menjadi juara Liga Champions Eropa pada 1985 dengan sumbangan satu gol semata wayangnya. Tragisnya, final melawan Liverpool FC dari Inggris tersebut yang berlangsung di Stadion Heysel Belgia, harus dibayar mahal dengan kematian 39 tifoso Juventus akibat terlibat kerusuhan dengan para hooligans dari Liverpool. Sebagai hukuman, tim-tim Inggris dilarang mengikuti semua kejuaraan Eropa selama lima tahun.[25] Juventus kemudian merebut scudetto terakhir mereka di era 1980-an pada musim 1985-86, yang juga menjadi tahun terakhir Trappatoni di Juventus. Memasuki akhir 1980-an, Juve gagal menunjukkan performa terbaiknya, mereka harus mengakui keunggulan Napoli dengan bintang Diego Maradona, dan kebangkitan dua tim kota Milan, AC Milan dan Inter Milan.[21] Pada 1990, Juve pindah kandang ke Stadio delle Alpi, yang dibangun untuk persiapan Piala Dunia 1990.[26]
994–2003: Era Marcello Lippi
Marcello Lippi mengambil alih posisi manajer Juventus pada awal musim 1994-95.[3] Ia lantas mengantarkan Juventus memenangi Seri-A untuk pertama kalinya sejak pertengahan 1980-an di musim 1994-95. Pemain bintang yang ia asuh saat itu adalah Ciro Ferrara, Roberto Baggio, Gianluca Vialli dan pemain muda berbakat bernama Alessandro Del Piero. Lippi memimpin Juventus untuk memenangi Liga Champions Eropa pada musim itu juga, dengan mengalahkan Ajax Amsterdam melalui adu penalti, setelah skor imbang 1-1 pada babak normal, dimana Fabrizio Ravanelli menyumbangkan satu gol untuk Juve.[27]Sesaat setelah bangkit kembali, para pemain Juventus yang biasa-biasa saja saat itu secara mengagumkan bisa mengembangkan diri mereka menjadi pemain-pemain bintang. Mereka adalah Zinedine Zidane, Filippo Inzaghi dan Edgar Davids. Juve kembali memenangi Seri-A musim 1996–97 dan 1997–98, termasuk juga Piala Super Eropa 1996[28] dan Piala Interkontinental 1996.[29] Juventus juga mencapai final Liga Champions di musim 1997 dan 1998, tetapi mereka kalah oleh Borussia Dortmund (Jerman) dan Real Madrid (Spanyol).[30][31]
Setelah dua musim absen karena dikontrak oleh Inter Milan (dan gagal), Marcello Lippi kembali ke Juventus di awal 2001. Pria penyuka cerutu ini lantas membawa beberapa pemain biasa, yang kembali ia berhasil sulap menjadi pemain hebat, di antaranya Gianluigi Buffon, David Trézéguet, Pavel Nedvěd dan Lilian Thuram, dimana para pemain tersebut membantu Juve kembali memenangi dua gelar Seri-A di musim 2001-02 dan 2002-03. Juve juga berhasil maju kembali ke final Liga Champions, sayangnya mereka kalah oleh sesama tim Italia lain, AC Milan. Tahun berikutnya, Lippi diangkat menjadi manajer timnas Italia setelah bersaing ketat dengan Fabio Capello, dan mengakhiri eranya sebagai pelatih terbaik Juventus di era 1990-an dan awal 2000-an.[32]
2004–2011: Terjerat masalah dan masa pemulihan
Mantan pemain Juventus era 1970-an, Fabio Capello diangkat menjadi pelatih Juve pada 2004. Ia membawa timnya menjuarai dua musim Seri-A di musim 2004-05 dan 2005-06. Sayangnya, di Mei 2006 Juve ketahuan menjadi salah satu klub Seri-A yang terlibat skandal pengaturan skor bersama AC Milan, AS Roma, SS Lazio, dan ACF Fiorentina. Juve terkena sanksi berat, dimana mereka terpaksa di degradasi ke seri-B untuk pertama kali dalam sejarah. Dua gelar yang dibawa Capello juga harus direlakan untuk dicabut.[33]Dibawah manajer muda Perancis, Didier Deschamps dan para pemain setia seperti Gianluigi Buffon dan Pavel Nedved, Juve menjadi tim super di Seri-B dan dengan hasil sebagai juara seri-B untuk pertama kalinya, Juve kembali ke Seri-A pada musim 2007-08. Claudio Ranieri[34] diangkat menjadi pelatih Juve setelah Deschamps berseteru soal bayaran gaji. Sayangnya usia Ranieri juga tidak berlangsung lama setelah ia gagal membawa Juve juara di musim 2008-09.[35] Mantan pemain Juve lain, Ciro Ferrara mulai bertugas menangani Juve di dua pertandingan akhir musim 2008-09 dan melanjutkan posisinya untuk musim 2009-10.[36] Namun Ferrara pun tidak bisa bertahan lama, karena di bulan Januari 2010 ia gagal membawa Juve berprestasi lebih baik setelah kandas di babak penyisihan grup Liga Champions. Ia pun akhirnya digantikan oleh Alberto Zaccheroni. Zaccheroni menangangi Juventus sampai akhir musim 2009-10 dan kemudian ia digantikan oleh Luigi Del Neri untuk musim 2010-11. Namun setelah serentetan hasil buruk di paruh musim kedua, manajemen Juventus akhirnya memutuskan untuk memecat Del Neri tidak lama setelah musim berakhir, dan ia digantikan oleh mantan bintang Juventus di era 1990-an, Antonio Conte untuk musim 2011-12.
2012–sekarang: Kembali ke jalur juara
Di bawah asuhan pelatih baru Antonio Conte yang merupakan mantan pemain Juve di masa silam, Si Nyonya Tua kembali menemukan jati dirinya yang hilang dalam beberapa musim terakhir dan keluar sebagai Scudetto di akhir musim 2011-12.[37] Juventus pun mencatat rekor meyakinkan sampai musim berakhir yaitu tidak terkalahkan sepanjang musim sekaligus menjadi klub pertama dalam sejarah Seri A yang tidak terkalahkan dalam format Seri A yang mengikut sertakan 20 klub. Juve pun kembali membuktikan diri sebagai salah satu klub yang paling kuat dalam segi bertahan dengan hanya kebobolan 20 kali, dan menjadi klub terbaik kedua Eropa di musim 2011-12 yang mencatat rekor paling sedikit kebobolan.[38]Serba-serbi klub
Warna, logo, dan julukan
Juventus telah bermain memakai kostum berwarna hitam dan putih ala zebra sejak tahun 1903. Aslinya, Juve bermain memakai kostum berwarna pink, tetapi karena satu dan lain hal, salah satu pemain Juve malah tampil dengan pakaian belang. Akhirnya Juve memutuska untuk beralih kostum menjadi belang hitam-putih.[39]Juventus lantas menanyakan pada pemain yang memakai baju belang tersebut, yaitu orang Inggris bernama John Savage, apakah ia bisa mengontak teman-temannya di Inggris yang bisa menyuplai kostum Juve dengan warna tersebut. Ia lantas menghubungi temannya yang tinggal di Nottingham, yang menjadi supporter Notts County, untuk mengirim kostum belang hitam-putih ke Turin, dan temannya tersebut menyanggupinya.[39]
Logo resmi Juventus Football Club telah mengalami berbagai perubahan dan modifikasi sejak tahun 1920. Modifikasi terakhir adalah pada musim 2004-05. Dimana saat itu mereka mengubah logo menjadi oval, dengan lima garis vertical, dan banteng yang dibentuk dalam sebuah siluet. Dahulu sebelum musim 2004-05, Juve memiliki sebuah symbol berwarna biru (yang merupakan symbol lain dari kota Turin). Selain itu ditambahkan juga dua bintang yang menggambarkan mereka sebagai satu-satunya klub yang mampu memenagi gelar Seri-A 20 kali. Sementara di era 1980-an, logo Juve lebih banyak dihiasi dengan siluet seekor zebra, menggambarkan mereka sebagai tim zebra kuat di Seri-A.
Dalam perjalanan sejarahnya, Juve telah memiliki beberapa nama julukan, la Vecchia Signora[1] (the Old Lady dalam bahasa Inggris atau "si Nyonya Tua" dalam bahasa Indonesia) merupakan salah satu contoh. Kata "old" (tua) merupakan bagian dari nama Juventus, yang berarti "youth" (muda) dalam Latin.[5] Nama ini diambil dari usia para pemain Juventus yang muda-muda di era 1930-an. Nama "lady" (nyonya) merupakan bagian dari sebutan para tifoso ketika memanggil Juve sebelum era 1930-an. Klub ini juga mendapat julukan la Fidanzata d'Italia (the Girlfriend of Italy dalam bahasa Inggris atau "Pacar Italia" dalam bahasa Indonesia), karena selama beberapa tahun, Juve selalu memasok pemain baru dari daerah selatan Itala seperti dari Naples atau Palermo, dimana selain bermain sebagai pemain sepak bola, mereka juga bekerja untuk FIAT sejak awal 1930-an. Nama lain Juve adalah: I Bianconeri (the black-and-whites, atau Si Belang) dan Le Zebre (the zebras[40], atau Si Zebra) yang merujuk pada warna kostum Juventus.
Stadion
Setelah dua musim perdana mereka (1897 dan 1898), dimana Juve bermain di Parco del Valentino dan Parco Cittadella, pertandingan-pertandingan selanjutnya di gelar di Piazza d'Armi Stadium sampai 1908, kecuali di 1905 saat nama Scudetto diperkenalkan untuk pertama kali, dan di 1906, dimana Juve bermain di Corso Re Umberto.Dari 1909 sampai 1922, Juve bermain di Corso Sebastopoli Camp, dan selanjutnya mereka pindah ke Corso Marsiglia Camp dimana mereka bertahan sampai 1933, dan memenangi empat gelar liga. Di akhir 1933 mereka bermain di Stadion Mussolini yang disiapkan untuk Piala Dunia 1934. Setelah PDII, stadion tersebut berganti nama menjadi Stadion Comunale Vittorio Pozzo. Juventus memainkan pertandingan kandangnya di sana selama 57 tahun dengan total pertandingan sebanyak 890 kali.[41] Sampai akhir Juli 2003 tempat tersebut masih dipakai sebagai sempat latihan Juve yang resmi.[42]
Dari tahun 1990 sampai akhir musim 2005-06, Juve menggunakan Stadion Delle Alpi, sebagai kandang mereka yang aslinya dibangun untuk Piala Dunia 1990, sesekali Juve juga menggunakan stadion lain seperti Renzo Barbera di Palermo, Dino Manuzzi di Cesena dan San Siro di Milan.[42]
Agustus 2006 Juve kembali bermain di Stadion Comunale, yang sekarang dikenal dengan nama Stadion Olimpiade, setelah Stadion Delle Alpi dipakai dan kemudian direnovasi untuk Olimpiade Musim Dingin Turin 2006.
Pada November 2008 Juventus mengumumkan bahwa mereka akan menginvestasikan dana sebesar €100 juta untuk membangun stadion baru di bekas lahan Stadion Delle Alpi. Berbeda dengan Delle Alpi, stadion baru Juve ini tidak menyertakan lintasan lari, dan jarak antara penonton dengan lapangan hanya 8,5 meter saja, mirip dengan mayoritas stadion di Inggris, dimana kapasitasnya diperkirakan akan berisi 41.000 kursi. Pekerjaan ini dimulai pada musim semi 2009, dan mulai awal musim 2011-12 stadion tersebut kemudian dipakai untuk mengarungi musim dan sejarah baru Juventus.
Pendukung
Juventus merupakan salah satu klub sepak bola dengan jumlah pendukung terbesar di Italia, dengan jumlah tifoso hampir 12 juta orang[18] (32.5% dari total tifosi bola di Italia), merujuk pada penelitian yang dilakukan pada Agustus 2008 oleh harian La Repubblica,[17] dan merupakan salah satu klub dengan jumlah supporter terbesar di dunia, dengan jumlah fans hampir 170 juta orang[18] (43 juta orang di Eropa),[18] selebihnya ada di Mediterrania, yang kebanyakkan diisi oleh imigran Italia.[43] Tim Turin ini juga mempunyai fans club yang cukup besar di seluruh dunia, salah satunya di Indonesia melalui Juventini Indonesia.[44]Tiket-tiket pertandingan kandang Juve memang tidak selalu habis setiap kali Juve bertanding di Seri-A atau Eropa, kebanyakkan fans Juve di Turin mendukung tim kesayangan mereka lewat bar-bar atau restoran. Di luar Italia, kekuatan supporter Juventus sangatlah kuat. Juve juga sangat popular di Italia Utara dan Pulau Sisilia, dan menjadi kekuatan besar saat Juve bertanding tandang,[45] lebih dibandingkan para pendukung di Turin sendiri.
Untuk kawasan Indonesia sendiri sejak awal musim 2006-07 sudah berdiri sebuah komunitas khusus bagi para penggemar Juventus, dengan nama Juventus Club Indonesia (JCI). Komunitas ini kemudian diakui sebagai satu-satunya fans club resmi Juventus untuk Indonesia pada awal musim 2008-09 setelah hampir tiga tahun berjuang untuk mendapatkan lisensi dari pihak Juventus Italia.[46][47]
Rivalitas
Juventus mempunyai beberapa rival utama di Italia. Pertama adalah klub sekota, FC Torino, di mana setiap pertandingan derbi melawan Torino selalu dijuluki Derby della Mole (Derby dari Torino) yang berawal sejak tahun 1906 di mana lucunya Torino sendiri didirikan oleh mantan-mantan pemain Juventus. Rival Juve yang lain di Italia adalah Internazionale; pertandingan Juve vs. Inter dijuluki sebagai Derby d'Italia (Derby dari Italia).[48] Sampai akhir musim 2006 ketika Juve terlempar ke seri-B, Inter dan Juve merupakan dua tim yang tidak pernah terdegradasi ke seri-B. Dua klub ini juga menjadi klub dengan fans terbesar di Italia, sejak pertengahan 1990-an.[48] Juve juga memiliki rival dengan AC Milan,[49] AS Roma[50] dan AC Fiorentina.[51]Sementara untuk kawasan Eropa sendiri, rival utama Juventus adalah Manchester United FC dari Inggris dan FC Bayern Munich dari Jerman, dimana keduanya sangat sering sekali bertemu di ajang Liga Champions Eropa. Satu lagi rival utama Juventus di Eropa adalah Liverpool FC. Khusus Liverpool, tifosi Juve tidak akan pernah melupakan tragedi kerusuhan Heysel 1985 (final Liga Champions 1985), dimana sekitar 30 orang lebih pendukung Juventus tewas di stadion yang berada di Belgia tersebut.
Himne Juventus
Setiap kali Juventus bertanding dihadapan para pendukungnya di Stadion delle Alpi atau Stadion Olimpiade Torino para pendukug Juve selalu menyanyikan sebuah lagu khas untuk mendukung timnya yang tidak diketahui siapa pencipta lagu tersebut. Berikut adalah petikan lagu himne Juventus:[52]Skuat tim dan staf kepelatihan
Tim utama
- Per 27 Januari 2013.
|
|
Dipinjamkan
Catatan: Bendera menunjukkan tim nasional pemain sesuai dengan peraturan FIFA. Pemain dapat saja mempunyai lebih dari satu kewarganegaraan.
|
|
Kepemilikan bersama
Catatan: Bendera menunjukkan tim nasional pemain sesuai dengan peraturan FIFA. Pemain dapat saja mempunyai lebih dari satu kewarganegaraan.
|
|
Staf
Berikut merupakan para staf yang bertugas untuk Juventus.Hingga 27 Juli 2011.[56]
Posisi | Pejabat |
---|---|
Pelatih kepala | Antonio Conte |
Asisten pelatih | Angelo Alessio |
Pelatih penjaga gawang | Claudio Filippi |
Koordinator pelatih | Massimo Carrera |
Asisten koordinator pelatih | Cristian Stellini |
Pelatih fitnes | Paolo Bertelli |
Prestasi dan penghargaan
Secara umum, Juventus adalah klub tersukses di Italia dengan raihan gelar 43 gelar nasional di Italia,[8] dan salah satu klub tersukses di dunia,[6][7] dengan raihan 11 gelar internasional,[9] dengan raihan rekor 9 gelar UEFA dan dua FIFA.[59] menjadikan mereka sebagai klub keempat yang sukses di Eropa[10] dan juga dunia,[11] dimana semuanya telah diakui secara pasti oleh UEFA dan FIFA, beserta enam konfederasi sepak bola dunia.[9]Juventus telah memenangi 28 gelar Seri-A, dan menjadi rekor terbanyak sampai saat ini,[32] dan juga menjadi catatan tersendiri saat Juve mendominasi lima musim berturut-turut Seri-A dari musim 1930-31 sampai 1934-35.[32] Mereka juga telah memenangi Piala Italia Sembilan kali, dan menjadi rekor sampai saat ini.[60]
Juventus menjadi satu-satunya klub sepak bola Italia yang telah mendapatkan dua bintang sebagai tanda mereka telah menjuarai Seri-A lebih dari 20 kali. Bintang pertama mereka dapatkan pada musim 1957-58 ketika Juve berhasil menjuarai Seri-A untuk kesepuluh kalinya, dan yang kedua pada 1981-82 ketika Juve menjuarai Seri-A untuk keduapuluh kalinya. Juventus juga merupakan klub Italia pertama yang memenangi gelar dobel (Seri-A dan Coppa Italia) sebanyak dua kali, yaitu pada 1959-60 dan 1994-95.
Juventus tercatatkan juga sebagai klub pertama dan satu-satunya di dunia yang berhasil memenangi seluruh gelar kejuaraan resmi,[13] yang diakui oleh FIFA,[15][16][14][61] Juve memenangi Piala UEFA tiga kali, berbagi rekor bersama Liverpool dan Inter Milan.[62]
Klub Turin ini menempati posisi 7 —tetapi teratas untuk klub Italia—dalam daftar Klub Terbaik FIFA Abad 20 yang diumumkan pada 23 Desember 2000.[63]
Juventus juga mendapatkan status sebagai World's Club Team of the Year sebanyak dua kali tepatnya pada 1993 dan 1996[64], dan menempati rangking 3 dalam Rangking Klub Sepanjang masa (1991-2008) oleh International Federation of Football History & Statistics.[65]
Gelar juara nasional Italia
- Juara (28 kali)[66]: 1905; 1925-26[67]; 1930–31; 1931-32; 1932–33; 1933–34; 1934–35; 1949–50; 1951–52; 1957–58; 1959–60; 1960–61; 1966–67; 1971–72; 1972–73; 1974–75; 1976–77; 1977–78; 1980–81; 1981–82; 1983–84; 1985–86; 1994–95; 1996–97; 1997–98; 2001–02; 2002–03; 2011–12.
- Posisi kedua (20 kali): 1903; 1904; 1906; 1937–38; 1945–46; 1946–47; 1952–53; 1953–54; 1962–63; 1973–74; 1975–76; 1979–80; 1982–83; 1986–87; 1991–92; 1993–94; 1995–96; 1999–00; 2000–01; 2008–09.
- Juara (1 kali): 2006-07.[68]
- Juara (9 kali): 1937–38; 1941–42; 1958–59; 1959–60; 1964–65; 1978–79; 1982–83; 1989–90; 1994–95.
- Juara kedua (5 kali): 1972–73; 1991–92; 2001–02; 2003–04; 2011–12.
- Piala Kremlin
Gelar Eropa dan dunia
- Juara (2 kali): 1984-85, 1995-96.[70][71]
- Juara kedua (5 kali): 1972–73; 1982–83; 1996–97; 1997–98; 2002–03
- Juara (1 kali): 1983-84.[72]